Pita Hitam 2010..

Siang ini, ajakan ngelayat datang dari Krisna, Neneknya Tina meninggal pagi tadi. Bordiranku harus kuhentikan, nemenin Widya ngurus SIM mesti dibatalkan, dan janjian ketemu klienpun harus ditunda. Ini buat Tina, sahabat gilaku. Selesei sholat berangkat dengan baju hitam tanda ikut berkabung, ketemu Krisna depan rumah Tina dan barengan ke rumah duka, belakang STIEPAN.

Dari jauh Tina menyambut Marina, Krisna kemudian aku. Ada duka mendalam dimatanya, dalam pelukan kubisikkan kata sabar , air mata yang berusaha ditahan bertetesan dipipinya. Keceriaanya tidak ditampakkan, dia berusaha merangkai kata dalam sesunggukan tangisan, “aku kira nenekku masih sempet melihat aku menikah”. Kembali aku hanya bisa bilang sabar. Sedikit cerita aku tau tentang kedekatan Tina dengan neneknya, dulu Tina pernah tinggal beberapa saat bersama neneknya. Aku teringat alamarhumah nenek..

Tak lama menunggu kami berangkat kekuburan muslim BDS, aku cukup merinding, ini untuk kedua kalinya bunyi sirine mobil kuiringi. Yang pertama ketika kakakku menikah, harus menempuh perjalanan jauh menuju rumah mempelai wanita, sirine berasal dari mobil patroli polisi yang mengawal iringan pengantin. Berbanding terbalik memang, sama seperti kehidupan manusia, ada yang akan memulai hidup baru menjadi keluarga baru sedangkan di sisi lain memulai kehidupan baru didunia yang berbeda.

Perjalanan menuju kuburan, tidak terasa walau matahari siang tadi cukup terik. Tak ada obrolan sepanjang perjalanan antara aku dan Tina, yang duduk diboncenganku. Aku enggan membuka kata, aku takut kalo nanti aku bertanya tentang neneknya malah aku sendiri yang akan terharu duluan. Pengen banget bilang ke Tina, bahwa dia masih termasuk cucu yang beruntung. Dia masih bisa mencium kaki neneknya walaupun dia melewatkan masa akhir hembusan nafas sang nenek.

Yaaapp, Tinaaa, kamu beruntung. 31 Agustus 2010 lalu, aku juga kehilangan nenek yang sangat kusayang. Tapi aku tak seberuntung kamu, aku hanya bisa membayangkan wajahnya dari jauh, aku hanya bisa menciumnya dengan hati, dan aku hanya bisa memeluknya dengan doa. Tangisku kala itu bukan karena aku tak merelakannya pergi tapi karena aku tak bisa mendekapnya. Tangis yang meledak seiring lenyapnya sakit yang diderita nenek, Allah sudah mengatur semuanya. Aku tau itu..
Nenekku dan nenekmu, sudah tenang didunia baru mereka. Kita juga akan menyusul, entah kapan. Doa kita yang mereka butuhkan, hingga tiba saatnya nanti semoga kita bisa berkumpul di surga…

Nek, aku kangen..

Komentar

Postingan Populer